Baca Opini

Sebuah Introspeksi Sudahkah Kita Menjadi Umat yang Moderat?

Penulis: Amilia Putri (Pranata Humas Kankemenag Kabupaten Bintan)

            Pentingnya kerukunan umat beragama di Indonesia dalam menunjang pembangunan fisik maupun mental bangsa dan Negara Indonesia menjadikannya salah satu program prioritas pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag). Pada tahun 2021, Kemenag mulai mengenalkan istilah moderasi beragama sebagai upaya menumbuhkan sikap toleransi dan menjaga kerukunan umat beragama yang memiliki peran penting pada persatuan dan kesatuan bangsa.

Kata moderasi adalah serapan dari bahasa Inggris yaitu moderation, suatu sikap sederhana, tidak berlebih-lebihan. Jika diikuti dengan kata agama dengan imbuhan ber- (beragama) memiliki makna, sikap menjalankan ajaran agama secara tidak berlebih-lebihan/ekstrem. Moderasi sendiri erat kaitannya dengan toleransi. Seseorang yang berilmu namun tidak berlebihan/ekstrem dalam memaknai keyakinannya cenderung toleran dalam menyikapi perbedaan.

Terlepas sejauh mana pemahaman moderasi beragama yang diketahui, muncul pertanyaan apakah kita sebagai umat beragama terlebih ASN (Aparatur Sipil Negara) Kemenag benar-benar telah mempraktikkan sikap moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari demi menjaga kerukunan umat beragama?

Kerukunan umat beragama bukan lah isu yang baru dirasa penting untuk digaungkan. Kerukunan umat beragama di Indonesia sudah berperan penting dalam menggerakkan revolusi demi meraih tujuan bersama, sejak masa kerajaan, melewati masa kemerdekaan, hingga saat ini. 

Upaya menjaga kerukunan seharusnya tidak berhenti dengan dinyatakan di atas kertas yang ‘dilegitimasi’ dengan bubuhan tanda tangan pihak terkait dan berwenang, atau disampaikan secara teoritis di ruang diskusi. Hal ini dikarenakan, selain sebagai pihak berwenang dan kaum yang berpikir, kita juga bagian dari umat beragama yang memiliki tanggung jawab mempraktikannya. Kerukunan yang lahir dari sikap moderasi beragama sejatinya adalah hasil praktik/implementasi tiap individu umat beragama dalam interaksi sosial di masyarakat.

Tentu, sikap rukun menjadi lebih terasah jika hidup di lingkungan yang heterogen. Berinteraksi dengan hamba-hamba Tuhan dengan beragam latar belakang biasanya membentuk kita menjadi manusia yang tidak ‘kagetan’ (open minded) kala dihadapi dengan ketidaksamaan cara hidup. Alih-alih ‘kagetan’, sebagian orang terkadang menjadikan perbedaan sebagai candaan yang merekatkan hubungan. 

Maka dari itu, sudah sewajarnya orang-orang yang tidak atau jarang keluar dari lingkungan tempat tinggalnya yang notabene homogen, jangan mengaku sudah moderat. Jangan-jangan ketika pertama kali ketemu sesajen ketika berkunjung ke tempat lain masih jadi bahan ghibah, atau ketika menyaksikan sikap toleransi umat seagama yang dianggap ‘berlebihan’ langsung sebut bid’ah.

Praktik kerukunan yang dilaksanakan juga tentu tidak sebatas formalitas untuk menggugurkan kewajiban menjaga hubungan baik, melainkan menjalankannya secara naluriah tanpa ingat bahwa sedang menjalankan misi moderasi beragama. Seolah-olah sikap rukun itu adalah salah satu dari sifat-sifat Tuhan yang diturunkanNya dan menyatu dalam diri hambaNya sejak dalam Rahim.

Kerukunan tidak hanya dinilai dari ada tidaknya riak dalam realitas kehidupan, tetapi ada tidaknya rasa tidak nyaman yang tertahan dalam diri salah satu umat beragama. Jika masih terdapat individu/sekelompok/umat yang menahan diri mengungkapkan perasaannya karena takut menyinggung individu/kelompok/umat lain kendati tidak mendapat hak sebagai mana mesti nya disebabkan pemberlakuan standar ganda oleh pihak mayoritas, maka kerukunan yang tampak hanya di luar saja.

Sekelompok umat yang menahan diri demi menjaga ketenangan sekitar sekaligus keamanannya sendiri biasanya merupakan kaum minoritas. Oleh karena itu, penilai kerukunan yang paling adil adalah dari suara-suara kaum minoritas yang hidup di lingkungan heterogen. Layaknya ucapan Gus Dur, kedamaian tanpa keadilan adalah ilusi, demikian pula, kerukunan yang tercipta di mana salah satu pihak tidak mendapatkan hak yang sama untuk mengekspresikan keyakinannya sesuai batasan tertentu adalah ilusi.

Hidup rukun umat beragama dalam porsi minoritas dan mayoritas bukan hanya sebatas hubungan antarumat beragama. Dalam agama yang sama pun (intern umat), bahkan dengan kesamaan semua latar belakang, kerukunan tidak serta merta tercipta tanpa diupayakan.

Hal ini mempunyai arti, bukan perbedaan agama dan keyakinan yang membuat kita sulit rukun, tetapi bagaimana cara kita menjalankan ajaran agama dan keyakinan masing-masing sesuai ajaran dan adil tanpa berusaha menyinggung dan menyudutkan pihak yang berbeda. Cara tersebut terbentuk dari didikan keluarga, lingkungan, dan diri nya sendiri dalam menilai dan menentukan keputusan.

Mari introspeksi, sudahkah kita berlaku moderat dan adil ketika dalam diskusi-diskusi tertutup masih berencana mengutamakan kelompok sendiri? Sudahkah kita berlaku moderat dan adil ketika dalam lingkup lembaga pendidikan dan lingkup keluarga, anak-anak kita ditanamkan bahwa apa yang kita yakini adalah yang terbaik? Mungkinkah kita pernah atau sedang terlupa mengajarkan kepada mereka bahwa kita seharusnya menjadi perantara rahmat Tuhan bagi kehidupan sekitar? bahwa kita adalah representasi dari kepercayaan dan keyakinan itu sendiri.

 

 

 

Bagikan Postingan Ini:
© Tim IT Diskominfo Kabupaten Bintan