Sekilas Tentang Kementerian Agama
Kementerian Agama adalah kementerian
yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang agama. Usulan
pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin
dalam Rapat Besar (Sidang) Badan Penyelidik Usaha – Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), tanggal 11 Juli 1945. Dalam rapat tersebut Mr. Muhammad
Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa, yaitu yang
berhubungan dengan agama.
Menurut Yamin, "Tidak cukuplah
jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita
wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri. Pendek kata menurut kehendak
rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf
dan masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu
yang kita namai Kementerian Agama”.
Namun demikian, realitas politik
menjelang dan masa awal kemerdekaan menunjukkan bahwa pembentukan Kementerian
Agama memerlukan perjuangan tersendiri. Pada waktu Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang hari Ahad, 19 Agustus 1945
untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, usulan tentang
Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI. Salah satu anggota PPKI
yang menolak pembentukan Kementerian Agama ialah Mr. Johannes Latuharhary.
Keputusan untuk tidak membentuk
Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland,
telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah
dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila,
dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.
Diungkapkan oleh K.H.A. Wahid Hasjim
sebagaimana dimuat dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan
Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856), "Pada waktu itu orang berpegang
pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran orang pada waktu
itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri
yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam
prakteknya berlainan."
Lebih lanjut Wahid Hasjim menulis,
"Setelah berjalan dari Agustus hingga November tahun itu juga, terasa
sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam prakteknya bercampur dengan
soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan
begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di
dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan
(dibedakan) dari soal-soal lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan
Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian
Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama
dari negara dan teori persatuan agama dan negara."
Usulan pembentukan Kementerian Agama
kembali muncul pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
diselenggarakan pada tanggal 25-27 November 1945. Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) merupakan Parlemen Indonesia periode 1945-1950, sidang pleno
dihadiri 224 orang anggota, di antaranya 50 orang dari luar Jawa (utusan Komite
Nasional Daerah). Sidang dipimpin oleh Ketua KNIP Sutan Sjahrir dengan agenda
membicarakan laporan Badan Pekerja (BP) KNIP, pemilihan keanggotaan/Ketua/Wakil
Ketua BP KNIP yang baru dan tentang jalannya pemerintahan.
Dalam sidang pleno KNIP tersebut
usulan pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional
Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh
Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro. Mereka adalah anggota KNI dari partai
politik Masyumi. Melalui juru bicara K.H.M. Saleh Suaidy, utusan KNI Banyumas
mengusulkan, "Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini
janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama
yang khusus dan tersendiri”.
Usulan anggota KNI Banyumas mendapat
dukungan dari anggota KNIP khususnya dari partai Masyumi, di antaranya Mohammad
Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo. Secara aklamasi
sidang KNIP menerima dan menyetujui usulan pembentukan Kementerian Agama.
Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta akan hal
itu. Bung Hatta langsung berdiri dan mengatakan, "Adanya Kementerian Agama
tersendiri mendapat perhatian pemerintah." Pada mulanya terjadi diskusi
apakah kementerian itu dinamakan Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian
Agama. Tetapi akhirnya diputuskan nama Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama dalam
Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3
Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia,
Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat,
memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama pada
waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil
pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu "Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Maksud dan tujuan membentuk
Kementerian Agama, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat
beragama di tanah air, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu
tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian
dengan urusan keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau
kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis berada di
tangan seorang menteri.
Pembentukan Kementerian Agama,
sebagaimana diungkapkan R. Moh. Kafrawi (mantan Sekretaris Jenderal Kementerian
Agama), "…. dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan
Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori muslim tentang
penyatuan antara keduanya. Jadi Kementerian Agama itu timbul dari formula
Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka:
sistem Islami dan sistem sekuler."
Pengumuman berdirinya Kementerian
Agama disiarkan oleh pemerintah melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji
Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI
Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam
modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh
Muhammadiyah.
Rasji di saat itu adalah menteri
tanpa portfolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku menteri negara
(menggantikan K.H. A. Wahid Hasjim), Rasjidi sudah bertugas mengurus
permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
Kementerian Agama mengambil alih
tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian, yaitu
Kementerian Dalam Negeri yang berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan
agama, kemasjidan dan urusan haji; Kementerian Kehakiman yang berkenaan dengan
tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi; dan Kementerian Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan yang berkenaan dengan masalah pengajaran agama di
sekolah-sekolah.
Sehari setelah pembentukan
Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato yang disiarkan oleh
RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk
memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Kutipan transkripsi pidato Menteri
Agama H.M. Rasjidi yang mempunyai nilai sejarah, tersebut diucapkan pada Jumat
malam, 4 Januari 1946. Pidato pertama Menteri Agama tersebut dimuat oleh Harian
Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta tanggal 5 Januari 1946.
Dalam Konferensi Jawatan Agama
seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17-18 Maret 1946, H.M. Rasjidi
menguraikan kembali sebab-sebab dan kepentingan Pemerintah Republik Indonesia
mendirikan Kementerian Agama yakni untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa "Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (ayat 1 dan 2). Jadi,
lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut
paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.
Perkembangan
berikutnya
Tahun-tahun berikutnya merupakan
masa konsolidasi dan pengembangan kementerian. Peralihan kekuasaan kepada
Pemerintah RI menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi kementerian.
Pada tanggal 23 April 1946, Menteri Agama mengeluarkan Maklumat yang isinya :
Pertama, Shumuka yang dalam zaman
Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, yang
selanjutnya ditempatkan di bawah Kementerian Agama.
Kedua, hak untuk mengangkat penghulu
Landraad (sekarang bernama Pengadilan Negeri), ketua dan anggota Raad Agama
yang dahulu ada di tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda, selanjutnya
diserahkan kepada Kementerian Agama.
Ketiga, hak untuk mengangkat
penghulu masjid, yang dahulu ada tangan Bupati, selanjutnya diserahkan kepada
Kementerian Agama.
Melalui perjuangan yang gigih dan
tanpa pamrih para pendahulu kita, sejarah Kementerian Agama menyatu dengan
sejarah NKRI. Bahkan dalam masa revolusi fisik dan diplomasi mempertahankan
kemerdekaan, Kantor Pusat Kementerian Agama turut hijrah ke Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kementerian Agama di masa H.M. Rasjidi dapat disebut
"kementerian revolusi", karena ketika awal dibentuk, Kementerian
Agama sejak 12 Maret 1946 berkantor di ibukota revolusi, Yogyakarta.
Dalam Maklumat Kementerian Agama No
1 tanggal 14 Maret 1946 diumumkan alamat sementara kantor pusat Kementerian
Agama adalah di Jalan Bintaran No 9 Yogyakarta. Kemudian bulan Mei 1946 alamat
Kementerian Agama pindah ke Jalan Malioboro No 10 Yogyakarta. Kantor ini
tersedia berkat jasa baik tokoh Muhammadiyah K.H. Abu Dardiri dan K.H. Muchtar.
Dalam waktu tersebut tugas-tugas Menteri Agama secara fakultatif tetap memiliki
akses dengan Jakarta.
Setelah berdirinya Kementerian
Agama, urusan keagamaan dan peradilan agama bagi umat Islam yang telah berjalan
sejak prakemerdekaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Semula hal itu berlaku di Jawa dan
Madura, tetapi setelah terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang didorong oleh mosi integral Mohammad Natsir (periode berlakunya UUDS 1950)
dan penyerahan urusan keagamaan dari bekas negara-negara bagian Republik
Indonesia Serikat (RIS) kepada Menteri Agama, maka secara de jure dan de facto,
tugas dan wewenang dalam urusan agama bagi seluruh wilayah RI menjadi tanggung
jawab Menteri Agama
Dalam perkembangan selanjutnya,
diterbitkan lah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1950 serta Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1951
antara lain menetapkan kewajiban dan lapangan tugas Kementerian Agama yaitu:
- Melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
sebaik-baiknya;
- Menjaga bahwa tiap-tiap
penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya;
- Membimbing, menyokong, memelihara
dan mengembangkan aliran-aliran agama yang sehat;
- Menyelenggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan
agama di sekolah-sekolah negeri;
- Memimpin, menyokong serta
mengamat-amati pendidikan dan pengajaran
di madrasah madrasah dan perguruan-perguruan agama lain-lain;
- Mengadakan pendidikan guru-guru dan hakim agama;
- Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut paut
dengan pengajaran rohani kepada anggota-anggota tentara,
asrama-asrama, rumah-rumah penjara dan
tempat-tempat lain yang dipandang perlu;
- Mengatur, mengerjakan dan
mengamat-amati segala hal yang bersangkutan
dengan pencatatan pernikahan, rujuk dan talak orang Islam;
- Memberikan bantuan materiil untuk perbaikan dan
pemeliharaan tempat-tempat beribadat (masjid-masjid,
gereja-gereja, dll);
- Menyelenggarakan, mengurus dan mengawasi segala sesuatu
yang bersangkut paut dengan Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi;
- Menyelidiki, menentukan, mendaftarkan dan mengawasi
pemeliharaan wakaf-wakaf;
- Mempertinggi kecerdasan umum dalam hidup bermasyarakat
dan hidup beragama.
Pada waktu memperingati 10 tahun
berdirinya Kementerian Agama, tahun 1956, Menteri Agama K.H. Muchammad Iljas
menegaskan kembali politik keagamaan dalam Negara Republik Indonesia.
Ditegaskannya, bahwa fungsi Kementerian Agama adalah merupakan pendukung dan
pelaksana utama asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kondisi
saat ini
Pada perkembangan selanjutnya, dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik, saat ini Kementerian Agama terdiri dari
11 unit eselon I yaitu : Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan
Penelitian dan Pengembangan, dan Pendidikan dan Pelatihan, dan 7 Direktorat
Jenderal yang membidangi Pendidikan Islam, Penyelenggaraan Haji dan Umrah,
Bimbingan Masyarakat Islam, Bimbingan Masyarakat Kristen, Bimbingan Masyarakat
Katolik, Bimbingan Masyarakat Hindu, Bimbingan Masyarakat Buddha, dan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Selain 11 unit kerja tersebut,
Menteri Agama juga dibantu oleh 3 (tiga) staf ahli dan 2 (dua) pusat yaitu :
Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Keagamaan, Staf Ahli Bidang Manajemen
Komunikasi dan Informasi, Staf Ahli Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat
Kerukunan Umat Beragama, Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH) merupakan unit kerja baru dan baru efektif melaksanakan tugasnya
pada tahun 2017. BPJPH dibentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang disahkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 Oktober 2014 dan pada tanggal tersebut
juga diundangkan oleh Menkumham Amir Syamsuddin. Dalam Undang-Undang JPH,
disebutkan bahwa BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung
sejak Undang-Undang JPH diundangkan.
BPJPH merupakan unit eselon I di
bawah Menteri Agama yang dipimpin oleh Kepala Badan, hal ini tertuang dalam
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama yang mengatur
ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH). Keberadaan BPJPH juga tertuang dalam Peraturan
Menteri Agama (PMA) Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Agama. PMA Nomor 42 Tahun 2016 mengatur mengenai tugas dan fungsi
dari masing-masing struktur BPJPH mulai dari eselon IV sampai dengan eselon I.
Keputusan Menteri Agama RI No. 270 tahun 2016 tentang Peta Proses Bisnis
Kementerian Agama yang di dalamnya ada Subprocess Map Penjaminan Produk Halal
juga merupakan peraturan pelaksanaaan UU JPH yang terkait dengan BPJPH.
Menurut UU JPH, dalam
penyelenggaraan Jaminan Produk Halal BPJPH berwenang antara lain: merumuskan
dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria
JPH, menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan
melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.
Pembahasan draft RPP secara internal
Kementerian Agama dilakukan semenjak tahun 2014 sampai dengan Juli 2016,
sedangkan pembahasan panitia antar Kementerian dilakukan pada bulan Agustus
s.d. Desember 2016 atau sebanyak 12 x pertemuan.
Selain menyusun RPP, Kementerian
Agama juga membuat Peraturan Menteri Agama, yang materi muatannya meliputi:
jenis-jenis produk halal, sanksi, penyelia halal, tata cara permohonan sertifikat
halal, lembaga pemeriksa halal, peran serta masyarakat, jenis hewan yang
diharamkan, kerja sama luar negeri, label halal, dan pengelolaan keuangan
BPJPH.
Dalam melaksanakan wewenangnya,
BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penetapan kehalalan
dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Kedepannya
apabila diperlukan, maka BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Ketentuan
mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan
Presiden.
Saat ini, dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik, Kementerian Agama menyelenggarakan fungsi antara lain :
- perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di
bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan
keagamaan;
- koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan
Kementerian Agama;
- pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Agama;
- pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Agama;
- pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah;
- pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke
daerah;
- pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
pengembangan di bidang agama dan keagamaan;
- pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan
- pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama.
GAMBARAN UMUM
KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN BINTAN
A. Letak Geografis
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bintan beralamat di Jalan Tata Bumi Km. 20, Ceruk Ijuk, Kecamatan Toapaya, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau 29151.
B. Sejarah Singkat
Pada Juni 1946
Kementerian Agama (Kemenag dulu Depag) dibentuk daerah residen Riau, dalam
perjalanannya hingga saat ini selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan
struktur organisasi yang berpusat di Tanjungpinang Provinsi Riau (dulu).
Dengan pindahnya ibu kota Provinsi Riau, dari Tanjungpinang
ke Pekanbaru maka, seluruh aparat kantor instansi Kemenag pindah pula ke
Pekanbaru pada bulan Januari 1960. Perkembangan selanjutnya dibentuklah
Departemen Agama Provinsi Riau. Kegiatannya berdasarkan pada PMA No. 2 tahun
1958 dan PMA No.3 tahun 1958. Selanjutnya dibentuklah Departemen Agama (Depag)
Kabupaten Kepulauan Riau pada masa itu meliputi seluruh Provinsi Kepulauan
Riau, terkecuali Batam.
Setelah terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau sebagai
provinsi baru berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2002 sebagai pemekaran
wilayah dari Provinsi Riau, kedudukan Departemen Agama Kota Tanjungpinang,
Batam, Kepualauan Riau, Karimun, Lingga, Natuna dan Kepulauan Anambas dan masih
berinduk ke Kantor Departemen Agama Wilayah Provinsi Riau.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 7 tahun 2005
tanggal 4 April 2005, terbentuklah Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
Kepulauan Riau sebagai pemekaran dari Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
Riau dengan status tipologi lll D. sebagai kepala kantor pertama adalah Drs.H.
Razali Jaya sesuai keputusan Menteri Agama No. B.ll/2/1351/2005 tanggal 01
Desember 2005.
Secara otomatis Kantor Departemen Agama Kabupaten Bintan
(Dulunya Kabupaten Kepulauan Riau) berada dalam wilayah Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi Kepulauan Riau. Seiring perkembangan Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Bintan yang sebelumnya berada di Tanjungpinang,
pada tahun 2007 berpindah ke wilayah Kabupaten Bintan. Hal ini berbarengan
dengan perpindahan ibu kota Kabupaten Bintan ke Bintan Buyu.
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bintan merupakan unsur
pelaksanaan pemerintah di bidang keagamaan di tingkat Kabupaten Bintan
berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 19 Tahun 2019
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama (saat
ini, Peraturan Menteri Agama Nomor 06 Tahun 2022 Perubahan PMA Nomor 06 Tahun
2020 Perubahan PMA Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Kementerian Agama).
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bintan telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan sejak terbentuknya sampai saat ini. untuk saat ini. Untuk saat ini kepala kantor Kementerian agama adalah Drs.H. Erman Zaruddin, M.M.Pd.
C. Visi – Misi Kemenag Bintan
Visi dan Misi
Untuk menghadapi
perkembangan dan kemajuan zaman yang demikian pesat, Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Bintan telah mencanangkan visi untuk keberadaannya di masa sekarang
dan masa yang akan datang. Kebutuhan akan visi tersebut merupakan sesuatu yang
sangat mutlak sebagai pedoman organisasi/instansi untuk melangkah ke depan
dalam menyikapi perkembangan zaman. sebagai cara pandang ke depan maka visi
harus dirumuskan sebagai cara pandang dan cita-cita untuk mencapai hasil yang
akan diraih oleh organisasi/instansi.
Visi yang telah dirumuskan oleh Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Bintan adalah :
visi
“Terwujudnya masyarakat Kabupaten Bintan
yang taat beragama, rukun, cerdas, dan sejahtera lahir batin dalam rangka
mewujudkan Kabupaten Bintan yang maju, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan
gotong royong”.
Penjelasan Makna Visi :
Makna yang terkandung dalam pernyataan visi tersebut adalah pembangunan bidang keagamaan yang diemban oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bintan diharapkan dapat membentuk masyarakat Kabupaten Bintan yang beriman dan bertakwa yang diwujudkan melalui peningkatan pelayanan kepada umat beragama secara menyeluruh.
Di samping pernyataan
visi tersebut, maka suatu organisasi/instansi juga harus menentukan misi ke
arah yang diinginkan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan serta tuntutan
zaman. Dengan adanya misi yang telah dirumuskan dan ditetapkan
organisasi/instansi dapat mengkoordinasikan segala tindakan, kegiatan dan
usaha-usaha yang harus dilakukan untuk mencapai visi organisasi. Misi yang
telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten
Bintan adalah :
Misi
1.
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan
ajaran agama;
2.
Memantapkan kerukunan intra dan antar
umat beragama;
3.
Menyediakan pelayanan kehidupan beragama
yang merata dan berkualitas;
4.
Meningkatkan pemanfaatan dan kualitas
pengelolaan potensi ekonomi keagamaan;
5.
Mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji
dan umrah yang berkualitas dan akuntabel;
6.
Meningkatkan akses dan kualitas
pendidikan umum berciri agama, pendidikan agama pada satuan pendidikan umum dan
pendidikan keagamaan;
7. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel dan terpercaya.
Misi
- Meningkatkan
pemahaman dan pengamalan ajaran agama;
- Memantapkan
kerukunan intra dan antarumat beragama;
- Menyediakan
pelayanan kehidupan beragama yang merata dan berkualitas;
- Meningkatkan
pemanfaatan dan kualitas pengelolaan potensi ekonomi keagamaan;
- Mewujudkan
penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang berkualitas dan akuntabel;
- Meningkatkan
akses dan kualitas pendidikan umum berciri agama, pendidikan agama pada
satuan pendidikan umum dan pendidikan keagamaan;