Catatan Seminar Nasional “Kerajaan Riau Lingga Era Sultan Abdurrahman Muazzamsyah II (Bagian 3)
Catatan
Seminar Nasional “Kerajaan Riau Lingga Era Sultan
Abdurrahman Muazzamsyah II (Bagian 3)
Pembangkangan Terhadap Bendera Belanda
Kemenag Bintan (Humas)—Selanjutnya, Sejarawan Kepulauan Riau, Aswandi Syahri menyebutkan sesunggunya banyak hal yang dipersoalkan dan ditentang oleh Partai Perlawanan dari Kerajaan Riau Lingga terhadap kebijakan politik Kolonial Belanda. Mereka mendesak agar jabatan Yang Dipertuan Muda Riau yang dihapuskan setelah pengesahan kontrak politik tahun 1905 ditandatangani oleh Resident W.A de Kanter dan Sultan Abdurrrahman Muazzamsyah, dihidupkan kembali dengan memilih salah satu dari anggota Ahli Musyawarah Kerajaan Riau Lingga menjadi Yang Dipertuan Muda Riau. Menolak campur tangan Resident Riouw dalam urusan Mahkamah Kerajaan Riau Lingga, tidak mengakui kontrak politik tahun 1905 dan tidak mendukung Sultan Abdurrahman Muazzamsyah menandatangani kontrak politik baru pada tahun 1910.
Dari semua itu, pembangkangan mereka terhadap politik bendera Belanda yang mewajibkan Sultan Abdurrahman Muazzamsyah dan pemerintahan Kerajaan Riau Lingga menghormati bendera Belanda itu dengan menempatkan pada posisi yang lebih tinggi dengan ukuran yang lebih tinggi dan lebih besar dari bendera Kerajaan Riau Lingga menjadi perlawanan yang sangat penting.
Karena bendera adalah simbol kedaulatan yang juga berfungsi sebagai simbol hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya. Itulah sebabnya mengapa masalah pembangkangan terhadap aturan pemakaian bendera Belanda menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam pemakzulan Sultan dan Tengku Besar pada tahun 1911.
Pembangkangan bukan saja terhadap bendera Belanda tetapi juga terhadap seluruh kebijakan yang berbau Belanda. Terhadap gerakan ini, Raja Ali Kelana dan Raja Hitam adalah anggota Partai Perlawanan yang paling bertanggung jawab. Di mata Resident G.F de Bruyn Kops, Raja Ali Kelana dan Raja Hitam merupakan penentang yang paling fanatic dan keras terhadap segala sesuatu yang berasal dari pemerintah Belanda.
Kronologisnya, pembangkangan itu telah mulai dilakukan pada 1902, ketika bendera Belanda tidak dinaikkan di kapal Kerajaan setelah adanya perubahan protokoler antara Resident dan Sultan Riau Lingga. Peristiwa ini dilaporkan oleh Resident A.L van Hasselt kepada Gubernur Jenderal di Batavia dengan menjelaskan bahwa Sultan Abdurrahman adalah seorang pembangkang yang dikelilingi oleh Ahli Musyawarah yang berhaluan keras.
Setelah itu, pembangkangan terhadap bendera Belanda terjadi kembali pada 1 Januari 1903, ketika Resident Riouw mengunjungi Sultan di Pulau Penyengat, ketika Hari Raya Idul Fitri. Ketika itu, Sultan Abdurrahman tidak menaikkan bendera Belanda di depan istana Kerajaan di Pulau Penyengat. Peristiwa ini mendapat teguran keras Resident F.L de Lanoy yang kemudian melaporkannya kepada Gubernur Jenderal Rodeboom di Batavia. Tetapi justru Sultan Abdurrahman bertindak sebagai raja yang merdeka dan menaikkan bendera kerajaannya sendiri.
Menanggapi sikap Resident F.L de Lanoy itu, sebuah perhimpunan
untuk membicarakannya diselenggarakan di istana Kerajaan di Pulau Penyengat
pada 31 Januari 1903 sekira pukul 08.00 malam. Menurut mata-mata Belanda, dalam
perhimpunan itu juga perihal perintah menaikan bendera Belanda di kawasan Pulau
Tujuh dan perihal perahu-perahu dagang anak-anak Riau Lingga harus memakai
bendera Belanda.
(Bersambung..)