Berita

Catatan Seminar Nasional “Kerajaan Riau Lingga Era Sultan Abdurrahman Muazzamsyah II (Bagian 4)

Berita

Catatan Seminar Nasional “Kerajaan Riau Lingga Era Sultan Abdurrahman Muazzamsyah II (Bagian 4)

Kemenag Bintan (Humas)—Selanjutnya pada malam Selasa, 17 Februari 1903, telah berlangsung musyawarah yang dilakukan para anak-anak raja di Rusydiah Club Riouw Pulau Penyangat. Pertemuan itu dihadiri pula oleh Raja Hitam, Said Ali Khatib, Raja Barima Bin Raja Musa, sejumlah anak raja lainnya. Pertemuan juga membahas pembangkangan terhadap bendera Belanda.

Terkait laporan Resident F.L de Lanoy kepada Gubernur Jenderal Rosseboom tentang pembangkangan terhadap bendera Belanda pada 1 Januari 1903, akhirnya Sultan Abdurrahman dipanggil ke Bogor. Dengan ditemani oleh Tengku Said Abdul Kadir, Amir Mandah, Raja Haji Zainal dan Raja Hitam, Sultan Abdurrahman Muazzamsyah bertolak melalui Singapore dan Batavia pada akhir Mei 1903.

Teguran keras dilontarkan oleh Rosseboom berkenaan dengan pengabaian pemasangan bendera Belanda di depan istana Sultan di Pulau Penyengat dan tindakan tegas akan dilakukan apabila hal serupa terjadi lagi.

Sekembali dari Bogor, Sultan Abdurrahman Muazzamsyah mengeluarkan plakat yang memerintahkan segala Amir, Wakil, Penghulu dan para Kepala dalam wilayah Kerajaan Riau Lingga untuk memakai bendera Belanda di darat dan di laut. Dalam hal ini dilarang menggunakan bendera Kerajaan Riau Lingga jika tidak dibersama dengan bendera Belanda dan dikibarkan di bawah bendera Belanda.

Plakat pertama yang dilengkapi dengan gambar posisi bendera di tiang, dikeluarkan di Istana Kerajaan pada 30 Juni 1903. Sedangkan plakat kedua yang menyandingkan tulisan jawi dan rumi ditulis di Penyengat pada Juli 1903.

Bagaimana pun, plakat ini tidak sepenuhnya efektif. Pembangkangan terhadap bendera Belanda masih selalu terjadi. Begitu juga setelah Kewajiban menggunakan bendera Belanda ini diatur dalam kontrak politik tahun 1905. Meskipun Tengku Besar dan juga Sultan Abdurrahman telah berulang kali membuat pernyataan perihal bendera. Bahkan dalam sebuah perlombaan perahu dayung di tepi laut Resident de Riouw di Tanjungpinang, ia memerintahkan bendera itu diletakkan di Haluan perahunya.

Pada 12 Mei 1910 sekali lagi Sultan Abdurrahman melanggar plakat pemakaian bendera Belanda di darat dan di laut, yang dibuatnya pada 30 Juni 1903. Ia tidak memasang bendera Belanda pada motor boat yang mengantarkannya ke Daik, Lingga. Begitu juga di depan Istana tempat tinggal Raja Muda Trengganu di Daik, Lingga, hanya berkibar bendera putih milik Sultan, tanpa bendera Belanda di atasnya. Hal yang sama juga terjadi di atas kapal uap Sultan Sri Daik yang berlayar dari Tolop ke Pulau Penyengat pada 8 Desember 1910 dengan hanya menggunakan bendera Sultan tanpa mengibarkan bendera Belanda.

Setelah menyaksikan pembangkangan terhadap bendera Belanda, maka Resident Bruyn Kops menyimpulkan bahwa sudah saatnya Pemerintah Kolonial Belanda menunjukkan kejenuhan dengan sikap kelompok perlawanan di Pulau Penyengat. Menurut Resident Bruyn Kops sebuah tindakan harus diambil secara jelas agar semuanya bisa dipatuhi. Tanpa hal tersebutpenguasaan terhadap wilayah Kerajaan Riau Lingga adalah sesuatu yang mustahil.

Bersambung..

Bagikan Postingan Ini:
© . Tim IT Diskominfo Kabupaten Bintan