Catatan Seminar Nasional “Kerajaan Riau Lingga Era Sultan Abdurrahman Muazzamsyah II (Bagian Terakhir)
Catatan Seminar Nasional “Kerajaan Riau Lingga Era Sultan Abdurrahman Muazzamsyah II (Bagian Terakhir)
Proses Verbaal
Kemenag Bintan (Humas)—Untuk
mengakhiri semua intrik kelompok perlawanan dari Pulau Penyengat dan
pembangkangan terhadap bendera Belanda sebagaimana beberapa opsi yang diusulkan
oleh Resident Riouw G.F de Bruyn Kops, maka pemerintah Kolonial Belanda dalam
konferensi yang diadakan di Batavia dan Bogor pada bulan Oktober 1910,
memutuskan untuk melakukan pemakzulan Sultan Abdurrahman dan Tengku Besar serta
mengusir anggota utama kelompok perlawanan seperti Raja Ali Kelana, Raja Hitam
dan Raja Abdurrahman Kecik.
Keputusan itu kemudian dikukuhkan
dalam Besluit tanggal 3 Februari Nomor 1 tentang pemakzulan Sultan Abdurrahman
Muazzamsyah dan Tengku Besar Umar yang sekaligus menjadi dasar dalam
melaksanakan tindakan hukum terhadap Raja ali Kelana, Raja Hitam, dan Raja
Abdurrahman Kecik. Secara resmi keputusan tentang pemakzulan tersebut baru
disampaikan kepada Sultan Abdrurrahman Muazzamsyah dan Tengku Besar Umar
melalui surat tanggal 9 Februari 1911.
Selanjutnya pada hari dan tanggal yang
sama, Raja Ali Kelana, Raja Hitam, dan Raja Abdurrahman Kecik dipanggil secara
hukum oleh Tuan Jacob Salim, jaksa juru sita di Medan yang langsung membacakan
surat pemanggilan di rumah tiga tokoh kelompok perlawanan itu di Pulau
Penyengat.
Karena pada saat itu Raja Ali Kelana
tidak berada di tempat, surat pemanggilan itu dibacakan di depan menantunya,
Tengku Usman. Kemudian surat panggilan untuk Raja Hitam dibacakan di hadapan
Raja Haji Abdullah, sedangkan surat panggilan untuk Raja Abdurrahman Kecik
dititipkan kepada Raja Zainal.
Mereka diminta datang ke kantor
Resident Riouw untuk didengar keterangan di depan Resident G.F de Bruyn Kops
dan Sekretaris Resident Hendriks Olke Prins pada hari Sabtu tanggal 11 Februari
1911. Ketiganya dikenakan pasal 47 Regering Reglement sebagaimana pasal yang
sama dikenakan kepada Sut Nyak Dien di Aceh dan sejumlah tokoh penentang
Kolonial Belanda lainnya. Ancaman yang digunakan adalah ancaman dibuang dari
wilayah Kerajaan Riau Lingga. Syahbandar Riau Lingga dalam catatannya
mengatakan ketiganya hanya diberi waktu sepuluh hari untuk meninggalkan wilayah
Kerajaan Riau Lingga.
Dalam pemeriksaan, ketiganya tidak
membuat pembelaan. Kemudian pasal 47 Regering Reglement dengan ancaman
pembuangan juga tidak jadi kenakan. Hal itu terjadi karena ketiganya memilih
keluar dari Pulau Penyengat pada tanggal 12 Februari 1911, sebelum dikeluarkan
secara paksa.