Berita

Ikuti Jambu Pasar 2024 di Malang, Desma Yulis Tulis Cerpen Tentang Joged Dangkong

Berita

Ikuti Jambu Pasar 2024 di Malang, Desma Yulis Tulis Cerpen Tentang Joged Dangkong

 

Kemenag Bintan (Humas) – Tulisan berikut ini adalah cerpen karya Desma Yulia, guru sejarah pada MAN Bintan. Cerpen yang ditulisnya merupakan salah satu persyaratan untuk dapat mengikuti Jambore Budaya, Pariwisata, Sejarah, Seni, dan Sastra (Jambu Pasar) tahun 2024. Kegiatan Jambu Pasar dilaksanakan 5 – 8 Juli 2024 di Bela Negara, Rampal, Malang.

 

Berikut kami sajikan cerpen tentang eksistensi Joged Dangkong yang ditulis Desma Yulia pada jambore tersebut.

 

Di sebuah pulau kecil di Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya Pulau Mantang, hiduplah seorang penari muda yang bernama Encik Laila. Encik Laila adalah anak desa yang ceria dan penuh semangat. Dia gemar menari sejak kecil dan selalu ingin mempelajari tarian tradisional Kepulauan Riau yang terkenal yaitu Joged Dangkong.

 

Joged dangkong adalah tarian yang menceritakan tentang kegembiraan dan kehidupan sehari-hari masyarakat nelayan di Pulau Mantang, Kepulauan Riau. Tarian ini dilakukan oleh sekelompok penari yang bergerak dengan lincah dan mengikuti irama musik yang riang. Namun, cerita di balik asal-usul Joged Dangkong tidaklah sederhana seperti tariannya yang riang.

 

Menurut legenda yang turun-temurun di desa mereka, Joged Dangkong berasal dari kisah para nelayan yang terdampar di sebuah pulau kecil, dimana pada malam harinya mereka mendengar bunyi-bunyian yang diiringi tari-tarian yang dilakukan oleh orang-orang bunian yang wajahnya tidak jelas. Salah satu dari nelayan tersebut adalah Amier. Amier adalah penari ulung yang sangat disayangi oleh penduduk desa karena keahliannya dalam menari Dangkong yang didapatnya dari orang bunian ketika dia terdampar di Pulau Mantang.

 

Pada suatu hari, Amier jatuh cinta kepada seorang gadis desa yang cantik jelita bernama Encik Laila. Encik Laila juga memiliki bakat menari yang luar biasa, terutama dalam menari Joged Dangkong. Namun, di balik pesonanya yang memikat, Encik Laila menyimpan cerita cinta yang melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh masyarakatnya. Cinta yang tak terbendung, Namun, cinta mereka tidaklah mudah karena dihantui oleh perbedaan status sosial yang mengancam untuk memisahkan mereka selamanya.

 

Dalam kegelapan malam yang menyelimuti hutan, di bawah cahaya bulan purnama yang memancar keindahan alam, Encik Laila dan Amier sering bertemu di titik perjumpaan rahasia mereka. Di sana, mereka bertukar sumpah cinta abadi sambil menari diiringi irama yang melambungkan semangat Joged Dangkong.

 

Namun, cinta mereka harus melewati berbagai rintangan. Orang tua Encik Laila tidak menyetujui hubungan mereka karena alasan status sosial yang berbeda. Mereka menganggap Amier tidak layak untuk menjadi pasangan hidup Encik Laila.

 

Amier, yang tidak ingin menyerah begitu saja, memutuskan untuk menunjukkan cintanya kepada Encik Laila melalui tarian yang indah. Dia menciptakan gerakan-gerakan yang menggambarkan perjuangan dan ketabahan hatinya, serta harapannya untuk bersama Encik Laila di masa depan.

 

Pada suatu malam purnama, di hadapan seluruh penduduk desa yang berkumpul di lapangan terbuka, Amier menari Joged Dangkong dengan penuh semangat. Gerakannya mengalir seperti air yang mengalir di sungai, indah dan mempesona. Encik Laila, yang duduk di antara penonton, tersenyum haru melihat Amier menari dengan penuh cinta dan dedikasi.

 

Akhirnya, orang tua Encik Laila pun tersentuh oleh keindahan tarian itu dan melihat betapa tulusnya Amier mencintai Encik Laila. Mereka mengizinkan Encik Laila untuk memilih jalan hidupnya sendiri, walaupun sebutan encik yang merupakan gelar keturunan bagi Encik Laila tidak bisa diteruskan ke generasinya, dikarenakan Encik Laila menikahi pemuda dari masyarakat biasa.

 

Pernikahan Encik Laila dengan Amier terlaksana dengan sangat meriah dimana orang orang yang datang berjoged dangkong bersama. Dari sinilah kemudian Joged Dangkong berkembang dan menyebar di seluruh masyarakat pulau Mantang dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Kepulauan Riau. Joged Dangkong tidak hanya menjadi tarian rakyat biasa di desa mereka, tetapi juga simbol cinta yang mengatasi segala rintangan. Setiap kali tarian itu dipentaskan, orang-orang di desa selalu teringat akan kisah cinta Amier dan Encik Laila yang mengharukan.

 

Ali, yang mendengar cerita ini dari kakeknya sejak kecil, selalu merasa terinspirasi setiap kali menari Joged Dangkong. Baginya, tarian itu bukan hanya sekadar gerakan tubuh, tetapi juga ungkapan perasaan yang mendalam tentang kehidupan dan cinta. Hingga saat ini, Joged Dangkong tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan sejarah desa mereka, mengingatkan semua orang akan kekuatan cinta dan keindahan dalam kehidupan.


Hatiman

Bagikan Postingan Ini:
© . Tim IT Diskominfo Kabupaten Bintan