Koordinator Stafsus Menag Sampaikan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Warga Kampus di STAIN SAR
(Kemenag Bintan) – Koordinator
Staf Khusus Menteri Agama (Menag) H. Adung Abdul Rochman mengunjungi STAIN SAR
(Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Abdurrahman). Lawatannya itu untuk bersilaturahmi
sekaligus menyampaikan materi Penguatan Moderasi Beragama Bagi Warga Kampus
Menuju Ummatan Wasathan.
Di hadapan Ketua STAIN SAR bersama Wakil Ketua I/II/III dan Kabag AUAK, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Bintan dan Kepala Kantor Kemenag Kota Tanjungpinang beserta masing-masing jajaran eselon IV, perwakilan Kanwil Kemenag Kepri, dan seluruh dosen, Adung Abdul Rochman mengatakan ada pertalian ilmu dan sharaf dari ulama-ulama di nusantara sehingga ikatan persatuan di Indonesia kuat.
Lebih lanjut, Adung menyampaikan ada pertemuan ekspresi keagamaan dalam satu tempat dengan tempat lain yang mengikat rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal ini umat muslim.
“Umat muslim Indonesia tidak hanya diwarisi kekayaan alam, tetapi juga budaya, suku, Bahasa, dan tradisi keilmuan dan ekspresi keagamaan yang sudah berabad-abad lamanya, sehingga rukun, toleran, meski berbeda suku, budaya, etnis, ras, dan tempat tinggal,” ucap Adung, Senin (9/01/2023).
Dikatakannya, Indonesia adalah negara yang besar dan sangat plural. Oleh karena itu, ia mengajak hadirin untuk merawat dan menjaga kekayaan alam dan keragaman serta kerukunan yang sudah terbentuk ini untuk diwariskan kembali kepada generasi selanjutnya.
Cara menjaga dan merawat kerukunan yang sudah ada ini adalah dengan pemahaman moderasi beragama. Menurutnya, ada 3 fenomena munculnya konsep moderasi beragama.
“Fenomena pertama adalah adanya umat beragama yang ekstrem (memahami dan menjalankan ajaran agamanya) contohnya adanya peristiwa terror bom bunuh diri (yang menyasar umat agama lain dan penegak hukum). Ekstremis itu tidak menghargai harkat martabat kemanusiaan dan merusak kehidupan masyarakat. Ini bertentangan dgn tujuan syariat Islam diturunkan,” tuturnya.
Selanjutnya, fenomena kedua adalah sebagian umat beragama yang merasa benar sendiri dan mudah mengkafirkan orang lain (takfiri), misalnya mengharamkan ziarah dan tahlilan. Padahal, kegiatan tahlilan dan ziarah menjadi ajang mengikat persaudaraan dan menciptakan moderasi karena menghibur yang sedang berduka dan berkumpul bersama orang lain tanpa ada sekat-sekat sosial.
“Hampir mustahil di masyarakat yang tahlilan timbul konflik umat beragama,” kata Adung pada kegiatan yang bertempat di Auditorium Razali Jaya.
Fenomena ketiga munculnya moderasi beragama adalah adanya kelompok yang merasa dasar negara dan sistem pemerintahan Indonesia tidak sesuai dengan syariat agama.
“Mereka merasa sistem pemerintahan saat ini tirani, kufur, dan harus diganti. Padahal Pancasila diciptakan tidak hanya dari kaum sekuler tetapi juga atas restu dari para ulama,” ujarnya.
Adung menguraikan ada 4 kunci moderasi beragama yakni, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi eragama (local wisdom). “Kalau tidak ada local wisdom maka identitas melayu bisa saja hilang karena (aktivitas keagamaan) tidak ramah terhadap tradisi,” urainya.
Adung kembali menegaskan bahwa Indonesia adalah negara besar dan penuh keberagaman dan mampu hidup rukun. Indonesia adalah negara yang menghormati hari-hari keagamaan, misalnya dalam Islam momen-momen keagamaan seperti tahun baru hijriah, maulid nabi, isra mikraj diliburkan dan diperingati, bahkan nuzulul quran, serta ditambah ada peringatan hari santri. Begitu juga dengan hari keagamaan umat agama lain.
“Di sini (Indonesia) pelaksanaan rukun Islam juga difasilitasi oleh negara, masjid dan musala dibangun dan diberi bantuan, menikah juga difasilitasi,” terang Adung.
Sebelumnya, selaku tuan rumah Ketua STAIN SAR Dr. Muhammad Faisal mengenalkan secara singkat sejarah pendirian kampus yang mempunyai visi Unggul Dalam Keislaman dan Kemelayuan itu. STAIN SAR berdiri dari di tahun 2010 dengan status swasta hingga dinegerikan pada tahun 2017.
Faisal mengungkapkan keinginan keluarga besar STAIN SAR mewujudkan kampus negeri berbasis agama itu naik satu tingkat menjadi IAIN. “Dalam perkembangan keilmuan sekolah tinggi hanya mengembangkan 1 bidang keilmuan, tetapi sekarang kami sudah mengembangkan berbagai bidang keilmuan sehingga akan lebih bermanfaat geraknya jika naik status menjadi IAIN,” ungkapnya.
Faisal mengakui saat ini pusat moderasi beragama dan studi gender di kampus yang diketuainya itu perlu digerakkan. Saat ini, STAIN SAR masih berfokus pada pusat penelitian dan pengabdian masyarakat dan pusat penjaminan mutu.
“Program moderasi sudah diberikan kepada dosen sebagai bahan peneltian program moderasi dan sudah tersusun bukunya. Kami berahrap setiap tahunnya nanti program moderasi beragama ini digaungkan dan menjadi bagian penting dalam pembelajaran,” pungkasnya. (AP)