MEMBANGUN KEBERSAMAAN YANG PLURALIS DI TENGAH KEMAJEMUKAN AGAMA
Penulis: Pdt. Evans Dusep Dongoran, M.Th (Pendeta di Kabupaten Bintan)
A. Pendahuluan
Kemajemukan agama
merupakan suatu kekayaan dan anugerah Tuhan yang dimiliki Indonesia. Kekayaan
dan anugerah ini akan menjadi masalah ketika tidak dijaga dengan baik. Kemajemukan
agama sering menjadi pemicu terjadinya perpecahan bagi bangsa Indonesia. Dalam
buku Moderasi Beragama mengatakan “Salah satu ancaman terbesar dalam memecah
belah kita sebagai bangsa adalah konflik berlatar belakang agama”.[1] Konflik ini disebabkan adanya kelompok ekstrem
dan radikal di dalam kelompok agama masing-masing. Fenomena ini dapat
disaksikan dari bermunculannya kelompok radikal agama yang tidak mentolerir
pemahaman agama lain yang berbeda dari kelompoknya. Kemajemukan Agama menuntun setiap umat
beragama untuk dapat membuka diri dan berpikiran positif dalam membangun
kebersamaan yang pluralis guna menciptakan kerukunan dan menjaga kesatuan dan
keutuhan bangsa Indonesia.
B. Kebersamaan yang Pluralis
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Arti kebersamaan berasal dari kata sama yang memili
padanan kata seperti kedamaian, harmoni, ketenangan, kesejahteraan, dan
lain-lain. Kebersamaan adalah saling membantu, memahami, dan mengerjakan
sesuatu yang dilakukan bersama-sama baik hal kecil maupun hal-hal lainnya.
Selain itu, kebersamaan juga bisa diartikan sebagai sikap saling membantu,
memahami, dan mengerjakan sesuatu dengan cara bersama baik dengan suku bangsa,
ras, agama, ideologi, dan budaya yang lain tanpa memandang perbedaan
masing-masing.
Kata Pluralitas berasal dari kata “plural” yang berarti
banyak, majemuk. Pluralitas dapat
diartikan keadaan yang majemuk, yang bermacam-macam atau keadaan yang lebih
dari satu. Kata Pluralitas Agama adalah suatu pengakuan akan keberagaman agama
dan berusaha memahami perbedaan yang ada.
Pluralitas yang berpondasikan solidaritas individual yang mendorong
setiap agama untuk berkontribusi, saling take
and give dan menghargai perbedaan itu.[2]
Kata pluralis yang
dimaksud disini tentu berbeda dengan pluralisme
(paham) yang harus mengabaikan imannya masing-masing, kebenaran dalam agama
tidak dipersoalkan oleh para pemeluknya, dalam konsep ini tentu harus dipahami
konsep umum kebenaran agama-agama. Pluralis
yang dimaksud dalam tulisan ini juga tidak sama dengan sinkretisme yang memadukan unsur-unsur tertentu dari beberapa agama
untuk dianut. [3]
Jadi kebersamaan
yang pluralis adalah kebersamaan yang dilakukan bersama-sama saling menolong
dan menghormati antar umat beragama, tanpa harus mengorbankan kenyakinan agama yang
dianut.
1. Toleransi Perekat Kebersamaan yang Pluralis
Di dalam
kemajemukan tentu tidak mudah untuk
memiliki rasa kebersamaan. Agar kebersamaan yang pluralis dapat terwujudkan
diperlukan sikap toleransi antarumat beragama. Toleransi adalah sikap saling
menghormati, saling menghargai, dan saling menerima di tengah keragaman agama, budaya,
suku, dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu
komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam
mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya.
Toleransi agama merupakan kebutuhan yang
hakiki dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia. Toleransi bukan
hanya pengakuan suatu komunitas mengenai keberadaan agama yang pluralitas,
melainkan juga menyakini agama yang pluralitas dapat memperkaya satu dengan
yang lain.[4]
Toleransi tidak harus menyangkal iman yang eksklusif, melainkan dengan
dasar iman yang eksklusif dapat menciptakan rasa toleransi. Menghargai dan
mengasihi orang yang berbeda agama bukan berarti menerima dan menjadikan
keyakinanya sebagai keyakinan kita.
Umat
Kristiani harus dapat membedakan antara menerima seorang yang berbeda pandangan
atau agama dengan menerima isi kepercayaannya sebagai kebenaran. Sehingga dalam
praktik hidupnya, masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dapat saling membantu,
bekerja bersama, bahkan tinggal bersama tanpa harus mehilangkan identitas agamanya
masing-masing.
2. Fanatisme Agama
Penghambat Kebersamaan yang Pluralis
Setiap agama pasti memiliki sikap eksklusif dalam relasi imannya kepada Allah. Sikap eksklusif dalam agama menandakan bahwa agama itu memiliki “keunikan” tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, jika suatu agama tanpa memiliki iman yang eksklusif, ia akan terjebak dalam pluralisme agama. Namun sering sekali sikap eksklusivisme yang berlebihan yang dimiliki seseorang terhadap agamanya dapat menimbulkan fanatisme agama. Di mana nantinya fanatisme agama ini akan melahirkan tindakan-tindakan yang ekstremis. Ekstremis agama berpendirian jika orang lain tidak mengikuti cara mereka atau menentang mereka, mereka akan kucilkan dan dimusuhi.
Oleh karena itu, umat beragama dalam memiliki sikap eksklusif terhadap agama harus dibarengi dengan keterbukaan terhadap pluralitas. Hal yang diperlukan adalah perubahan menyeluruh dari orientasi sikap dan perilaku kita terhadap agama satu sama lain dan untuk berusaha membangun koeksistensi yang damai dan harmonis di antara semua agama untuk membangkitkan dan menghargai pluralitas.
Sikap fanatisme
yang sempit dan egois dengan tidak mau terbuka terhadap agama lain akan menjadi
penghambat dalam membangun kebersamaan yang pluralis. Hal tersebut dikarenakan
sikap egoisme adalah sikap yang sangat suka untuk menyalahkan orang lain,
menganggap bahwa dirinya paling benar dan selalu menyerang paham dan
atau/keyakinan orang lain.[5]
C.
Dasar Teologis
Iman Kristen Dalam Membangun Kebersamaan Yang Pluralis
Bebarapa dasar dan prinsip Kekristenan
secara teologis dalam hidup dan bersikap di tengah-tengah pluralitas agama antara
lain sebagai berikut;
1.
Mengasihi Allah dan Mengasihi Sesama Manusia
Dasar hidup iman Kristen di tengah pluralitas agama harus seimbang antara mengasihi Allah dan mengasihi manusia. Mengasihi Allah dan mengasihi manusia adalah suatu perintah Tuhan yang harus sama-sama dilakukan oleh umat Tuhan. Kita tidak dapat mengasihi Allah tanpa mengasihi sesama manusia.
Ketika seorang ahli taurat menanyakan kepada Yesus tentang hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?, Yesus menjawab “Kasihilah Tuhan Allah mu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:37-39).
Kasih terhadap Tuhan Allah adalah
yang pertama dan terutama, sesuatu yang
mutlak dan totalitas dari umat Tuhan. Kasih kepada Allah itu satu-satunya dasar
kehidupan kita, kasih kepada sesama harus didasari kasih kepada Allah, karena
kasih terhadap Allah harus tercermin dalam kasih kita kepada sesama. “jikalau seorang berkata, aku mengasihi
Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa
tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang
tidak dilihat” (1 Yohanes 4:20). Kasih kepada Allah adalah yang terutama
dan pertama, kasih kepada sesama berdasarkan kepada yang utama itu.
2. Mengikuti Teladan
Hidup Yesus
Yesus Kristus selama berada di dunia kehidupannya memberikan teladan bagi umat Tuhan untuk hidup dalam pluralitas, Yesus hidup di tengah-tengah pluralitas agama dan kepercayaan yang ada pada saat itu. Sebagai seorang Yahudi ia harus tetap mempertahankan kemurnian Yudaisme di tengah-tengah pengaruh Helenisme dan agama Romawi. Cara kehidupan Yesus tentu berlawanan dengan kelompok-kelompok yang hidup pada waktu itu. Brownlee membandingkannya dengan orang-orang Zelot dan Essene. Kaum Zelot ingin mendirikan Kerajaan Allah di dunia dengan cara revolusioner. Kaum Essene menjauhkan diri dari dunia untuk bertapa dan hidup murni sampai Mesias datang.
Yesus mengambil sikap moderat di tengah kemajemukan agama yang ada. Sekalipun Yesus hidup di tengah kemajemukan agama, namun Ia tidak pernah berkompromi terhadap dosa dan kejahatan yang ada. Meskipun para Imam pada waktu itu banyak yang menyimpang dan terpengaruh dengan Helenisme dan agama Romawi. Yesus tidak sanggup berkompromi dengan ketidakadilan. Ia menentang orang-orang yang menyalahgunakan kedudukannya atau tidak peduli kepada penderitaan orang sengsara. Namun dalam melakukannya Yesus tidak melakukannya dengan kekerasan dan gerakan revolusioner perang melainkan dengan kasih dan kebersamaan.
Yesus melakukan pembaruan secara
lengkap. Pembaruan itu berarti bahwa struktur-struktur masyarakat dan hati
manusia diperbaharui. Yesus tidak memperhatikan individu saja atau masyarakat
saja. Ia memperhatikan individu dan masyarakat.[7]
Yesus dalam menggarami dan menerangi dunia tidak dengan kompromi ataupun dengan
kekerasan, namun Ia menggarami dan menerangi melalui cara hidupnya yang penuh
dengan kasih, karena itu dunia perlu diperbaiki. Umat Kristen dipanggil oleh
Allah untuk hidup dalam lingkungan masyarakat yang majemuk dan peduli dengan
keadaan masyarakat yang ada, hidup dalam kasih sambil berusaha menjadikan
masyarakat lebih baik dan teratur.
3.
Tuhan Mengasihi Semua Suku Bangsa.
Dalam kitab Mazmur 145:9 mengatakan “Tuhan itu baik kepada semua orang dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikannya”. Tuhan Allah mengasihi semua ciptaanya Ia memberikan matahari untuk semua orang, untuk yang jahat maupun yang baik dan memberikan hujan untuk semua manusia, agar segala suku bangsa dapat menikmati kebaikan Tuhan.
Dalam kisah Para Rasul menceritakan bagaiman Injil dapat disampaikan bagi seluruh bangsa. Diawali oleh perjumpaan Petrus dengan Kornelius seorang prajurit Roma (Kisah 10). Di mana Petrus pada saat itu memiliki sikap eksklusivisme agama Yahudi yang sangat keras dan tertutup. Namun dalam perjumpaannya dengan Kornelius, Petrus baru mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang (Kisah 10:34). Oleh karena itu, perbedaan suku bangsa dan agama jangan menjadi hambatan bagi setiap orang untuk dapat berbuat baik, sebab mereka juga diterima oleh Allah. Jika Allah mengasihi segala suku bangsa atau semua umat manusia, maka seharusnya juga umat Kristiani dapat mengasihi semua manusia.
D.
Kesimpulan
Kemajemukan agama akan menjadi suatu
kekuatan dan keindahan bagi bangsa Indonesia jika kita semua dapat menyikapi
dan menghidupinya dengan baik. Untuk itu
perlunya membangun sikap kebersamaan yang pluralis dalam hidup bermasyarakat
yang majemuk agamanya. Kebersamaan yang pluralis dapat menciptakan kerukunan, di mana umatnya
dapat hidup berdampingan, berkerja sama, tolong menolong tanpa harus
mengorbankan esensi iman/ kepercayaan agamanya masing-masing.
Dalam membangun kebersamaan
yang pluralis diperlukan sikap toleransi dan menghindari sikap fanatisme
beragama yang berlebihan. Dalam perspektif iman Kristen terdapat tiga dasar
teologis dalam membangun kebersamaan yang pluralis. Pertama, Mengasihi Allah dan Mengasihi Manusia. Kedua, Mengikuti Teladan Yesus. Ketiga, Tuhan Mengasihi segala suku
bangsa, untuk itu kita juga harus saling mengasihi.
[1] Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 219M.
[2] Ginting and Ayaningrum, “Toleransi Dalam Masyarakat
Plural.”
[3] Samuel Benyamin Hakh, Merangkai Kehidupan Bersama Yang Pluralis dan
Rukun, Malang: BPK Gunung Mulia, 2017, hal 36
[4] Stevri I. Lumintang, Teologi abu-abu, (Malang: Gandum Mas, 2004)
hal 274
[5] Religious Harmony, “PLURALISME DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA” (2015): 1–13.
[6] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia
Milik Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hal 13
[7] ibid, hal 15