Nasionalisme Dalam Pandangan Islam
Oleh: Mulyadi, S. Ag. (Kepala KUA Kec. Teluk Bintan)
Sebagai umat Islam yang lahir dan hidup di Indonesia, setidaknya kita membawa dua identitas dalam diri kita, yakni Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai bangsa. Kita adalah seorang muslim sekaligus juga bagian dari bangsa Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) pernah mengatakan bahwa “Hubbul Wathon minal Iman”,artinya cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Perkataan itu keluar dalam situasi Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer yang dilakukan Belanda.
Ungkapan “Hubbul Wathon minal Iman” memberikan semangat kepada para pejuang untuk berjihad mempertahankan tanah airnya. Bagaimana ungkapan tersebut dalam pandangan Islam? Bukankah Nabi Muhammad Saw mengajarkan kita untuk mencintai tanah air?
Setidaknya ada dua riwayat hadis yang menunjukan rasa “nasionalisme” Rasulullah Saw
. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَّةَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ، وَأحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ (رواه الترمذي).
Artinya: Sahabat Ibnu Abbas berkata: Nabi pernah menyatakan (demikian) pada negeri Mekah, “(Mekah, negeriku), indah betul dirimu. (Mekah), engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini, Mekah (HR Tirmidzi).
Menurut Imam Tirmidzi hadis ini merupakan hadis hasan shahih. Artinya, hadis ini dapat menjadi landasan dalam beragama. Selain itu, ungkapan Nabi ini diucapkan Nabi saat peristiwa Fathu Makkah atau pembebasan Mekah (setelah 8 tahun NAbi Hijrah ke Madinah). Saat itu Nabi merasa rindu ingin kembali tinggal di Mekkah sebagai tempat yang dimuliakan Allah dan tempat Nabi dilahirkan.
Dalam hadis riwayat Said bin Zaid, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ» (رواه الترمذي)
Artinya: Orang yang mati terbunuh untuk mempertahankan hartanya itu mati syahid. Begitupun orang yang membela agama, mempertahankan nyawa, serta keluarga dan penduduknya juga dikategorikan mati syahid bila sampai terbunuh (HR Tirmidzi).
Dari hadis ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mempertahankan harta, membela agama, mempertahankan nyawa, keluarga dan penduduk merupakan perbuatan yang mulia. Penduduk merupakan bagian dari suatu bangsa. Artinya mempertahankan bangsa dari penjajahan bangsa asing merupakan perbuatan yang bisa dibenarkan oleh agama.
Manusia dikelompokkan menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa merupakan sunnatullah. Hal ini telah ditegaskan dalam ayat yang dibacakan khatib pada iftitah khutbah Jum’at. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.
Ayat ini menyebut seluruh manusia tanpa kecuali. Dalam ayat diurai prinsip dasar hubungan manusia. Kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Mengingatkan jangan sampai manusia merasa bangga atau lebih tinggi dari pada yang lain karena bangsa atau suku tertentu. Warna kulit atau kondisi bawaan lain yang tidak menjadikan derajat satu manusia beda dengan yang lain.
Ayat tersebut menegaskan bahwa tidak ada perbedaan nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan, tujuan ayat ini adalah agar manusia saling mengenal sehingga bisa memberi manfaat pada sesama. Perkenalan dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman sebagai modal menuju ketakwaan kepada Allah Swt. Hasilnya setiap manusia bisa merasakan kedamaian, kesejahteraan duniawi, dan kebahagiaan ukhrawi.
Identitas nasionalisme jangan disalahgunakan untuk membenci bangsa lainnya apalagi sampai saling memusuhi. Kita juga diingatkan agar berlomba-lomba dalam ketakwaan. Karena yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Penulis ingin menegaskan bahwa dalam segala sesuatu, hendaknya kita bersikap proporsional dan tengahan. Termasuk dalam rasa nasionalisme atau kebangsaan. Nasionalisme pada dasarnya adalah rasa memiliki terhadap tanah air, sehingga kita mempunyai semangat untuk memajukan bangsa kita dengan terus menerus memperbaiki diri, meningkatkan keilmuan dan keterampilan kita untuk berkontribusi bagi bangsa.
Namun tak jarang semangat nasionalisme malah terjatuh ke dalam paham chauvinisme. Chauvinisme merupakan nasionalisme dalam bentuk ekstrem dimana penganutnya menganggap bangsanya paling baik dan bangsa-bangsa lain lebih rendah derajatnya. Sikap ini jelas dilarang oleh Islam. Sikap inilah yang disebut dengan ‘ashobiyah, yakni terlalu fanatik terhadap identitas tertentu.
Nabi Muhammad Saw tetap proporsional dalam menempatkan nasionalisme. Walaupun beliau adalah orang Arab, namun beliau bersabda bahwa orang Arab tidak lebih mulia dibanding orang non-Arab kecuali karena ketakwaannya.
Sikap Nabi Muhammad Saw tersebut patut ditiru. Cinta tanah air boleh, namun harus tetap proporsional, tidak terjebak ke dalam fanatisme berlebihan. Yang paling penting adalah nasionalisme kita harus diwujudkan dalam bentuk kontribusi dan karya nyata yang bisa mengharumkan bangsa kita.
Terakhir, mari sejenak kita menundukkan kepala kita, memohon ampun kepada Allah Swt atas segala dosa yang kita lakukan, seraya memohon petunjuk agar senantiasa kita istikamah berada di jalan-Nya.