PRINSIP-PRINSIP TOLERANSI
Penulis: Abdul Majid (Sekretaris FKUB
Kabupaten Bintan)
Syahdan,
ada seseorang beragama Majusi yang datang pada Nabi Ibrahim As. Orang Majusi
itu sedang dalam keadaan lapar dan ingin minta makanan pada Nabi Ibrahim yang
terkenal dermawan. Namun karena orang itu beragama Majusi maka Nabi Ibrahim
memberikan syarat. Nabi Ibrahim akan memberikan makanan pada lelaki Majusi itu
asalkan dia bersedia masuk Islam dan meninggalkan agama Majusi yang selama ini
dia anut.
Lelaki Majusi itu keberatan kalau harus meninggalkan agamanya demi mendapatkan makanan. Ia pun menolak syarat yang diinginkan Nabi Ibrahim As lalu bergegas pergi meninggalkan tempat Nabi Ibrahim. Saat si Majusi itu belum terlalu jauh meninggalkan tempatnya, Nabi Ibrahim yang bergelar "kekasih Tuhan" itu ditegur oleh Tuhan.
Dalam bahasa manusia, Tuhan bertanya pada Ibrahim As, "Wahai Ibrahim, berapa usia lelaki Majusi itu?'
"Kira-kira empat puluh tahun, Wahai
Tuhanku"
"Bukankah selama empat puluh tahun
lebih itu ia aku berikan makanan. Tanpa syarat apa-apa. Tanpa aku minta dia
harus masuk Islam. Kok kamu mau memberi dia makanan satu kali saja mensyaratkan
dia harus masuk Islam dulu."
Setelah tindakannya "dikritik dan disindir" oleh Tuhan, Nabi Ibrahim cepat-cepat lari keluar untuk mencari lelaki Majusi itu. Setelah bertemu, Nabi Ibrahim mengajak lelaki Majusi itu kembali ke rumah dan hendak dikasih makanan dengan tanpa syarat harus meninggalkan agamanya. Setelah makan dan berterima kasih pada Nabi Ibrahim As, lelaki Majusi itu bertanya, "kenapa kamu tadi merubah keputusan?”
"Aku malah ditegur Tuhanku saat mensyaratkan kamu harus masuk Islam untuk saya beri makanan. Tuhanku telah memberi kamu makan selama puluhan tahun tanpa mensyaratkan apa-apa. Kenapa aku mau memberi kamu makan sekali saja harus pakai syarat segala," jawab Nabi Ibrahim As.
Di luar dugaan, lelaki Majusi itu justru menyatakan masuk Islam setelah mendengar penjelasan Nabi Ibrahim As. Si Majusi itu menganggap betapa Maha baiknya Tuhan yang selama ini memberi kehidupan padanya.
Kisah di atas menjadi salah satu pondasi dalam mengaplikasikan toleransi antarumat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih di sebuah negara yang penduduknya heterogen dalam hal keyakinannya, seperti Indonesia tercinta ini.
Memaksakan kehendak terlebih pada orang lain yang punya keyakinan berbeda dengan kita bukanlah tindakan yang tepat. Justru hal tersebut akan merusak kerukunan serta keharmonisan di antara umat beragama. Dalam hubungan atau interaksi kita dengan orang lain yang berbeda agama serta keyakinannya dengan kita, harus berpegangan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Harus diakui, biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya sendiri. Ini berarti yang paling berharga buat agama adalah agama itu sendiri. Oleh karenanya setiap agama menuntut pengorbanan apapun dari pemeluknya demi mempertahankan keberlangsungannya.
Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sembari menghormati para pemeluk agama lain. Sebagaimana firman-firman Allah Swt dalam Al-Qur’an di antaranya sebagai berikut;
"Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah
(pemeluk agama lain)...”. (Q.S. Al-An’am: 108)
"Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam)" (Q.S. Al-Baqarah: 256)
"Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja," (Q.S. An-Nahl :93)
Dari kandungan surah tersebut, Allah Swt tidak menghendaki yang demikian (paksaan kepada penganut agama lain untuk mengimani Islam). Karena itu, Dia memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.