Dikira ‘Amplop’ Rupanya Slip Setoran Bank
Penulis:
Mulyadi, S.Ag.
Penghulu
Madya/ Kepala KUA Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
Riau
Penghulu (Penghulu nikah) merupakan profesi yang menggiurkan sekaligus menjadi tantangan. Betapa tidak, seorang penghulu adalah orang yang paling dinanti saat-saat perhelatan besar sebuah pesta pernikahan. Kedatanganmya menjadi fokus perhatian orang banyak, ia juga menjadi aktor utama dalam prosesi akad nikah.
Sejatinya, sudah disosialisasikan terkait biaya nikah, bahwa tiada lagi biaya tambahan dalam Pelayanan Nikah selain PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang disetor melalui Bank Persepsi untuk pelaksanaan nikah di luar jam kerja atau di luar kantor. Berbeda dengan pelayanan Nikah di KUA yang dilaksanakan secara gratis berdasarkan Peraturan Pemerintan Nomor 48 Tahun 2014. Namun, masih ada saja masyarakat sebagai basa-basi memberi sesuatu selesai akad nikah kepada penghulu, bukan karena diminta atau sekadar memberi uang minyak katanya.
Hal tersebut menjadi tantangan manakala penghulu yang dituntut untuk bekerja secara profesional, mendukung upaya pemerintah mewujudkan birokrasi bersih dan melayani. Birokrasi bersih dan melayani melarang ASN menerima sesuatu pemberian yang diduga berkaitan dengan pelayanan, meskipun sang pemberi sangat tulus karena pelayanan yang dimintainya terpenuhi.
Hal ini menjadi dilema karena jika pemberian tersebut ditolak maka dianggap tidak menghargai. Daripada menggunakan aksi tolak-menolak, terkadang penghulu terpaksa menyiasatinya dengan menerimanya dulu, kemudian menyerahkannya kembali dengan menitipkan untuk pengantin.
Peristiwa di atas terjadi pada Kamis, 16 Desember 2021 Pukul 09.00 WIB sebagaimana jadwal pernikahan yang tertera pada berkas nikah yang bertempat di Desa Pengujan, salah satu desa di kecamatan tempat saya bertugas. Pelaksanaan nikah sempat tertunda 1 jam dikarenakan ada kegiatan lain yang tidak bisa saya elak pada waktu bersamaan, Alhamdulillah keluarga dapat memahaminya.
Kemudian tepat Pukul 10.00 WIB saya selaku penghulu pun datang, tampak ekspresi orang-orang sudah gelisah menunggu. Saya pun menyapa dengan ucapan "Assalamu'alaikum" dan permintaan maaf karena telah membuat mereka menunggu. Saya pun dipersilakan masuk dan duduk di serambi rumah tempat pelaksanaan Akad Nikah.
Ketika protokol pernikahan hendak memulai, ternyata sound system belum disetel dan membuat acara tertunda lagi 15 menit. Begitulah suasana acara di sebuah kampung, berbeda dengan di perkotaan yang barangkali untuk sound system saja perlu tim khusus, yang tentu saja biaya jasa nya bisa mencapai jutaan rupiah.
Setelah beres soal sound system, pembawa acara pun menyilakan waktu kepada saya, pertanda akad nikah segera dimulai. Sesuai standar prosedur sebelum akad nikah dimulai, maka penghulu memeriksa kembali kesesuaian berkas data pihak-pihak yang terkait dengan akad nikah. Seperti data calon suami dan calon istri, hubungan wali, dan saksi-saksi, serta mahar pernikahan. Termasuk kesediaan walinya (ayah kandung dan urutan wali yang berhak) juga sangatlah penting, karena sahnya pernikahan seorang perempuan tergantung izinnya wali.
Pengantin perempuan pun keluar ke hadapan majelis dengan pakaian sederhana. Kebetulan pesta nikah atau resepsi baru akan digelar keesokan harinya. Sang pengantin perempuan pun duduk berjarak dari pengantin laki-laki. Memang, dalam tradisi melayu biasanya pengantin perempuan bersanding setelah ijab kabul dilaksanakan. Kedua calon mempelai juga tidak luput mendapat pertanyaan tentang kesediaannya untuk melangsungkan akad nikah. Ketika semua sudah dianggap memenuhi persyaratan secara hukum, maka akad nikah layak untuk dilanjutkan.
Untuk melegakan suasana, beberapa pertanyaan saya ajukan kepada calon mempelai pria, terkait apa tujuan menikah, sudah berapa lama saling kenal, dan pekerjaan. kemudian mengulasnya dengan menyampaikan beberapa prinsip pernikahan dalam Islam serta tanggung jawab sebagai suami istri sebagai pencerahan, juga bagi para hadirin.
Kemudian saya pun membaca khutbah nikah pertanda rangkaian akad nikah dilmulai. Saat ijab kabul, dengan terbata-bata mempelai pria menjawab, sehingga berulang sampai lima kali. "Aku terima nikah ....binti ... anak kandung bapak dan mas kawinnya emas tunai" ujar mempelai menjawab Ijab dari Penghulu. Semestinya dijawab : "Saya terima nikah dan kawinnya … bin … dengan maskawin nya sebentuk cincin emas tunai", sebagaimana telah dituntun sewaktu penataran di KUA.
Setelah 5 kali pengulangan ijab dan kabuI selesai, dan sebagai penguat kedua saksi menyatakan sah. Saya lalu mengakhiri dengan membacakan doa. Saat itu, saya memborong protokol acara yakni, menjadi petugas KUA, menerima Taukil Wali, dan pembaca doa. Kadangkala mulai membuka acara pun dilakoni sendiri oleh penghulu karena sebagian kampung-kampung tidak dipersiapkannya meskipun sekadar untuk membuka acara.
Acara dilanjutkan pembacaan Sighat Ta’lik, oleh mempelai pria. Salah satu poin penting dalam lafal Sighat Ta’lik bahwa “suami akan memenuhi kewajiban sebagai suami dan akan mempergauli istri bernama …. binti … dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Saya terangkan bahwa kalimat mu’asyarah bil ma’ruf tersebut adalah perintah Allah Swt yang terdapat di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’: 19. Maksudnya adalah agar suami dapat membina hubungan yang baik bersama istri dan keluarganya. Termasuk perlu memahami adat (urf) yang berlaku bagi mereka yang tidak berlawanan dengan ajaran Islam.
Terakhir adalah penandatanganan berkas nikah dan penyerahan mas kawin oleh pengantin pria kepada pengantin wanita. Pada momen itu, buku nikah pun diserahkan kepada keduanya. 1 jam berlalu, akad nikah itu pun berakhir dengan suasana gembira dan haru.
Kebiasaan di kampung, tidaklah elok penghulu langsung pergi begitu saja selesai menikahkan pengantin. Saya pun duduk sebentar, bercengkerama bersama sambil hidangan disiapkan. Berbeda dengan di perkotaan, hidangan tamu biasanya terletak di luar (prasmanan), harus antri dulu mengambilnya, sedangkan kalau di kampung-kampung kita duduk bersila saja sambil menanti hidangan dihantarkan di hadapan kita yang di sebut “Ambang”. Saya kala itu duduk bersama tetua adat dan tokoh kampung yang turut hadir sebagai saksi nikah.
Tradisi hidangan makanan seperti ini berlaku bagi kalangan adat Melayu, Jawa, Bugis yang pernah saya temui. Hidangan disajikan per kelompok, satu kelompok terdiri 5 orang. Begitu pula hidangannya, mulai dari piring, sendok, gelas masing dikelompokkan 5. Lauk pun disajikan 5 potong dalam satu mangkok, demikian halnya dengan nasi dalam satu mangkok, dll. Adat tersebut berbeda dengan adat tradisi hidangan makan di kampung-kampung Provinsi Sumatera Barat, di mana makanan dihidangkan tetapi tidak berkelompok, namun berjejer sepanjang ruangan dan tidak ditentuan jumlah orangnya, piring kotor yang sudah kosong atau bekas pakai pun langsung segera diganti.
Sesuatu terjadi, setelah hidangan di santap, sambil istirahat sejenak, ayah pengantin yang kebetulan masih duduk di samping saya, menyodorkan sesuatu kepada saya. Saya tidak begitu memperhatikan apa yang disodorkan. Sekilas saya pikir itu sebuah amplop yang dilipat. Sebutan amplop konotasinya adalah apa yang ada di dalamya. Walaupun kadang ada yang berseloroh “Tidak perlu amplop yang penting isinya”.
Saat itu, spontan saya agak kaget, saya terima salam dari ayah pengantin tersebut yang berisi amplop, maksud saya menghargai pemberiannya. Kemudian saya sodorkan kembali dan berucap: “Mohon maaf pak saya terima kemudian saya serahkan kembali, untuk pengantin saja”. Bapak pengantin pun kaget dan berkata, “Pak, ini bukti setoran bank (bukti setoran PNBP nikah ke bank) yang dipesankan staf Bapak” ujarnya. Saya menjadi malu dan geli sendiri. Saya kira amplop berisi uang ternyata yang diserahkan adalah slip setoran bank yang masih 2 lembar itu, warna putih dan warna kuning.