Baca Opini

TOLERANSI UJUNG TOMBAK MERAWAT KERAGAMAN BERAGAMA

Penulis: Abdul Majid Jufri (Sekretaris FKUB Kabupaten Bintan)

 

Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, budaya, bahasa, dan agama yang menjadikan Indonesia rentan terjadi konflik. Salah satu konflik yang paling rentan terjadi adalah konflik agama, baik konflik antarumat beragama maupun konflik antar aliran dalam satu agama. Hal ini disebabkan karena agama merupakan the deepest element (elemen yang paling mendasar) dalam budaya, sehingga sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sedangkan manusia adalah makhluk konflik, yaitu makhluk yang terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa.

Perbedaan merupakan fitrah manusia  karena adanya perbedaan pemahaman, tujuan, dan juga kepentingan. Namun, yang dikecam adalah jika perbedaan dijadikan alat untuk memusuhi, membenci, dan menzalimi antara satu sama yang lainnya. Inilah fenomena yang terjadi sekarang ini, perbedaan sekecil apapun (tidak terkecuali perbedaan beragama dan paham keagamaan) yang seharusnya dapat dikompromikan, malah menjadi pemicu terjadinya permusuhan dan kezaliman. Perbedaan paham keagamaan bukan lagi menjadi rahmat, tetapi berubah menjadi laknat.

Dalam konteks keindonesiaan, konflik sosial bernuansa agama ini dapat mengancam kesatuan dan kebhinekaan negara, sehingga sedini mungkin harus diredam. Konflik yang bernuansa agama ini bisa diredam jika setiap umat beragama bisa saling toleran antara satu dengan yang lainnya.

Toleransi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu A’la Al-Maududi, adalah suatu sikap menghargai kepercayaan dan perbuatan orang lain meskipun hal tersebut merupakan sesuatu yang keliru menurut pandangan kita. Kita tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan pemaksaan untuk mengubah keyakinannya, atau dengan menghalang-halangi mereka melakukan sesuatu.

Untuk mewujudkan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat harus mengimplementasikan nilai-nilai toleransi antara lain yaitu:

Pertama, al-hurriyyah al-diniyyah (kebebasan beragama). Kebebasan beragama meliputi kebebasan untuk menganut agama yang diyakini dan kebebasan menjalankan ajaran agama dengan tenang dan aman, tanpa ada intimidasi. Oleh karena itu, kebebasan beragama merupakan syarat utama terciptanya kehidupan yang toleran dan harmonis antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama, akan terjadi konflik di tengah masyarakat, baik secara verbal maupun fisik.

Islam sendiri sudah menjamin kebebasan beragama sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam),” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 256).

Menurut Ibnu Asyur, maksud ayat ini adalah janganlah kalian memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Dan, ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas larangan memaksa seseorang memeluk agama Islam dengan cara apapun.

Kedua, mengimplementasikan nilai kemanusiaan (al-Insaniyyah). Mendahulukan kemanusiaan sebelum sikap religius merupakan salah satu konsep yang ideal untuk memupuk kerukunan antarumat beragama. Menurut Habib Ali Al-Jufri, banyak hadis yang mengindikasikan nilai kemanusiaan harus didahulukan dari sikap religius, di antaranya sabda Nabi Saw.:

عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ السُّلَمِيِّ قَالَ رَغِبْتُ عَنْ آلِهَةِ قَوْمِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ فَتَلَطَّفْتُ لَهُ حَتَّى دَخَلْتُ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقُلْتُ لَهُ مَا أَنْتَ فَقَالَ نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا النَّبِيُّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَقُلْتُ وَمَنْ أَرْسَلَكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْتُ بِمَاذَا أَرْسَلَكَ فَقَالَ بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ وَتُحْقَنَ الدِّمَاءُ وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ وَيُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ

dari hadis ‘Amr bin ‘Abasah As-Sulami berkata; “Saya sangat membenci tuhan-tuhan kaumku pada Masa Jahiliyyah, ” lalu dia menyebutkan haditsnya. (‘Amr bin ‘Abasah As-Sulami) berkata; lalu saya bertanya tentang keberadaan nabi, dan saya pun mendapatkan Nabi dalam keadaan menyembunyikan diri dari keramaian orang. Saya berusaha menemuinya dengan cara menyamar hingga saya bisa menemuinya, saya ucapkan salam kepadanya, lalu saya bertanya,

“Apa (kedudukan) anda?” 
Beliau menjawab, “Nabi.” 
Saya (‘Amr bin ‘Abasah) berkata; “Apakah Nabi itu?”
Beliau menjawab, “Rasulullah.”

Saya bertanya, “Siapakah yang mengutus kamu?.” 
Beliau menjawab, “Allah Azzawajalla.” 
Saya bertanya, “Dengan apa?” 
beliau menjawab, “Agar kamu menyambung silaturrahim, melindungi darah, mengamankan jalan, berhala dihancurkan, Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya sesuatupun.”

Habib Ali menjelaskan bahwa cara Rasulullah menjelaskan risalahnya itu dengan menyebut ketiga hal mendasar dulu tentang nilai kemanusiaan.

1.     Menyambung Silaturrahim. Ini dimaknai Habib Ali menjadikan masyarakat yang rukun dan damai.

2.     Melindungi darah. Ini dimaknai Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan.

3.     Mengamankan jalan. Ini berarti, menurut Habib Ali, keamanan publik.

Setelah itu Rasulullah Saw. menjelaskan religius tentang tauhid, yaitu menghancurkan berhala artinya amar ma’ruf nahi munkar, dan mengesakan Allah Ta’ala.

Berdasarkan hal ini, Rasulullah Saw. menjamin nilai-nilai kemanusiaan, keamanan, dan kehormatan manusia dijamin oleh Islam.  Islam menghendaki manusia, apapun agama, paham keagamaan, suku, ras dan bahasanya, aman di mana pun ia berada, tanpa khawatir mendapatkan perlakuan yang tidak baik hanya karena berbeda agama atau paham keagamaannya.

 Nilai kemanusiaan harus diutamakan dari paham keagamaan kita (apa yang kita pahami dari ajaran agama). Sebab, nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan Islam, saling menghormati, saling tolong menolong, menjaga keamanan, merupakan ajaran yang universal, sedangkan pemahaman kita terhadap teks keagamaan bisa jadi benar dan bisa jadi salah.

Oleh karena itu, jangan sampai hanya karena berbeda paham keagamaan, lantas kita bersikap intoleran, diskriminatif, dan zalim terhadap orang yang berbeda paham dengan kita karena ini tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan yang diajarkan Islam.

Inilah dua toleransi yang harus diimplementasikan dalam masyarakat. Jika kedua nilai mampu diimplementasikan, maka akan terciptalah ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), dan ukhuwah diniyyah (persaudaraan umat beragama).

 

 

Bagikan Postingan Ini:
© Tim IT Diskominfo Kabupaten Bintan