Kerukunan dan Toleransi Dalam Perspektif Hukum Kasih
Oleh :Patrisius Boli Tobi
(Wakil Ketua FKUB Kabupaten
Bintan)
Pengantar Biblis
Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri.
(Matius 22:37-40)
Prinsip dasar dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai sebuah bangsa
majemuk yang kaya akan kesetiakawanan sosial, sudah tentu berangkat dari
bagaimana peran para tokoh agama dalam mendesain secara inovatif cara-cara
hidup di tengan masyarakat, berinteraksi dalam dinamika yang selaras sebagai
bangsa yang senantiasa memandang perbedaan adalah sebuah kekayaan peradaban.
Gereja Katolik memandang sesama warga bangsa adalah saudara dan keluarga bangsa yang senantiasa hidup dalam alam yang sama, di mana Indonesia adalah Rumah besar kita bersama. Dasar biblis dalam teologi Katolik dari Nats di atas, (Matius 22:37-40) menempatkan Allah dan umat manusia dalam dimensi vertikal Allah dan manusia, sekaligus dimensi horizontal manusia dengan manusia.
Kita tidak bertakwa dan berbakti pada Allah tanpa merekatkan tali kasih itu dengan sesama manusia. Toleransi dan kesetiakawanan adalah pelataran kita dalam keberbedaan merangkai tali kasih untuk hidup bersama, saling menjaga dan memelihara kerukunan. Iman itu semestinya diimplementasi dalam amal perbuatan nyata.
Kerukunan
Sebagai Wujud Konkrit Ajaran Kasih
Umat Katolik di Indonesia sejak zaman kemerdekaan telah mengaktualisasi
semangat cinta damai dengan mengupayakan keselarasan hidup rukun dengan
saudara-saudara yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Prinsip ini
sebagai cermin kepatuhan dan ketaatan pada falsafah bangsa, yang oleh sejarah
telah menjadi komitmen dan konsistensi keberadaan umat Katolik sebagai bagian
dari warga bangsa yang ikut memelihara kedamain.
Ajaran kasih yang diamanatkan oleh Juru Selamat “Yesus Kristus” menjadi roh yang menghidupkan setiap umat Katolik dalam hidup berkomunitas sebagai bangsa yang merdeka, serta menjaga kesetiakawanan sosial dan cinta kasih terhadap sesama manusia.
Tidak ada kerukunan dan kedamaian yang tercipta ketika cinta kasih itu hanya sebatas doktrin teoritikal. Kontribusi umat dalam menghidupkan semangat persaudaraan mesti dilihat dari peristiwa konkrit dalam interaksi sosial umat Katolik di tengah masyarakat. Jadilah Garam dan Terang dunia yang mencipta nuansa kasih di antara mereka yang berbeda iman dan keyakinan, demikian amanat yang diwariskan sang Mesias.
Dialog sebagai medium interaksi dalam memahami karakter yang bersifat universal dari gereja Katolik. Membuka diri dalam menerima perbedaan demi sebuah kekayaan pengetahuan dogmatis umum menjadi alasan yang paling humanis untuk kita lebih dapat menghargai mereka yang berbeda, baik itu beda dari sisi keagamaan, budaya, maupun cara pandang tentang kerukunan.
Sebagai penulis yang kebetulan sering berada dalam komunitas yang plural sekaligus duta Katolik Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bintan, saya memiliki beberapa pengalaman dalam kegiatan dialog kerukunan, termasuk menjadi team leader studi banding Kerukunan FKUB Bintan ke Sumatera barat.
Dari pengalaman tersebut, ada catatan yang menjadi referensi setidaknya demi sebuah cita rasa persaudaraan dalam keberbedaan. Sebagai team leader saya diberi otoritas mengatur segala sesuatu berkaitan dengan agenda studi banding termasuk mengatur pembagian room di setiap destinasi penginapan selama 3 (tiga malam).
Saya harus menempatkan 2 orang setiap room dari reservasi penginapan. Yang menarik ketika saya sebagai team leader meminta sahabat saya, seorang ustaz, untuk berada di satu room (kamar) dengan sobat Pendeta, saya harus mampu menyampaikan argumentasi kenapa harus demikian.
Pada saat itu saya sampaikan, “sahabatku Pak Ustaz, dengan berada dalam kondisi ini saya berharap dan berdoa semoga di subuh hari nanti ketika Pak Ustaz masih pulas tertidur, sahabatmu, Pak Pendeta, bisa membangunkanmu untuk menunaikan ibadah salat subuh, bukankan begitu kita hidup rukun dan toleran dalam perbedaan?” Lalu Pak Ustaz tersebut manggut-manggut tanda setuju dengan argumentasi saya, syukur pada Allah, Puji Tuhan.
Terdapat beberapa referensi ajaran gereja Katolik mengenai semangat kerukunan dan toleransi yaitu sebagai berikut;
- Di jaman Romawi kuno, CICERO seorang Filsuf berbicara mengenai toleransi, ketika ia menulis bahwa “agama kita berlaku untuk kita, sedangkan kalau ada orang yang mau beragama lain, kita memberi toleransi untuk itu “ (Pro Flanco 28).
Pada tahun 313 dalam kerajaan Romawi, secara politis diterbitkan Keputusan Toleransi di Milano, untuk membiarkan orang Kristiani hidup di antara orang dengan agama Romawi.
- Adagium Extra Ecclesiam Nulla Salus, yang bermakna di luar gereja tidak ada keselamatan. Namun, setelah Konsili Vatikan II, gereja Katolik sangat menghargai agama dan keyakinan lainnya.
Dalam hal ini, Romo Prof. Dr. Frans Magnis Suseno dalam bukunya “Iman dan Hati Nurani” (Obor 2013), khusus dalam bab tentang “Apa Makna Dialog Antar Agama“ menegaskan bahwa Katolik sangat menghargai agama-agama lain.
Dikatakan Romo Magnis, Konsili vatikan II menyatakan dengan jelas bahwa orang di luar umat katolik, dapat diselamatkan ketika mereka berusaha hidup menurut suara hati mereka (lumen gentium 16).
“Sebab mereka yang tanpa kesalahannya sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta gereja nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendakNya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal.”
- Konsili Vatikan II melalui dokumen Nostra Aetete poin ke-5 menyebutkan, kita tidak dapat menyerukan nama Allah, Bapa segala bangsa, bila kita tidak mau bersikap sebagai saudara terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra Allah. Hubungan manusia dengan Allah Bapa dan dengan sesamanya begitu erat sehingga Allah berkata “Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih”.
- Mazmur 133:1 menyebutkan, Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun. Hal ini menegaskan sesuatu yang dibuat dengan kasih, salah satunya yaitu rukun akan indah kedepannya, sebab kita mau menghargai perbedaan satu sama lainnya.
Sebagai kontribusi dalam menjaga serta merawat kedamaian, gereja Katolik memandang perlu untuk menjadikan momentum dialog kerukunan sebagai wahana perekat persaudaraan sejati.
Toleransi dan kerukunan antarumat beragama bersifat penting. Di antara nya adalah sebagai berikut (dalam Ulahaiyanan, 2008):
- Mengamalkan praktik hidup beragama secara benar, konsisten, dan efektif.
- Menggapai tujuan mulia dari agama, yaitu keselamatan/ kebahagiaan di dunia dan akhirat yang dapat dicapai melalui cinta kasih, yang adalah intimitas relasi antara manusia dengan Allah dalam intimitas relasi antara manusia dengan manusia.
- Mewujudkan kebutuhan hidup yang hakiki dan cita-cita setiap insan manusia, yaitu damai sejahtera lahir dan batin dalam dunia yang harmonis, rukun, dan damai.
Sebagai penutup, penulis mengutip beberapa pantun sebagai ciri dialektik
di mana penulis berada di bumi melayu, negeri yang kaya akan nasihat dan
petuah.
“Kado dibungkus selembar pita
Pita dibeli saat belanja
Sungguh indah negeri kita
Jikalau kita hidup bertoleransi”
“Terbang tinggi burung merpati
Hinggap lama di pohon mahoni
Mari kita saling menghormati
Hidup nyaman dalam harmoni”